Sejarah Pekiringan
Trah Panembahan Wongsopati Ing Klero
Mudzakarah Trah Darah Pati Unus ing Sabrang Lor [Mijil ing Japara,1480-Syahid ing Selangor Malaysia,1521], Trah Darah Panembahan Wongsopati ing Klero [Sedha ing Klero,1680], Trah Brayat Ageng Kyai Karto Dreyan ing Kentheng [Sedha ing Kentheng,1943] dumugi Trah Kanjeng Raden Tumenggung Hasan Midaryo ing Kalasan [Mijil ing Prambanan,1921-Sedha ing Kalasan,30 Maret 2004]
Duk Djaman Semono, Kandjeng Edjang Boeyoet Ing Klero nate paring wewarah,".. Djoedjoer Lahir Bathin Berboedi Bowo Leksono Adedhasar Loehoering Agomo, Djedjer Welas Asih Sasamoning Titah Adedhasar Jiwo Kaoetaman Lan Roso Kamanoengsan, Lan Djadjar Manoenggal Wajibing Patrap Bebrayan Agoeng Adedhasar Endahing Tepo Salira Manembah Ngarsaning Goesti Allah Ingkang Moho Toenggal, Ngrenggo Tjiptaning Koesoema Djati Rila Adedharma Mrih Loehoering Bongso, Agomo, Boedoyo, Lan Sasamining Titahing Gesang Ing Ngalam Donya, Ikoe Lakoening Moekmin Sadjati.." [Wewaler KRT. Hasan Midaryo,1999]
Rabu, 07 Juli 2010
Sejarah Penyebaran Agama Islam di Perdikan Cahyana
1. Waliyullah Bumi Perdikan Cahyana
Tulisan singkat tentang Perdikan Cahyana dan Sejarah Perkembangan Agama Islam di Bumi Cahyana ini bertujuan agar saya sendiri pada khususnya, serta masyarakat Cahyana umumnya dapat mengetahui tentang sekelumit sejarah masa lalu di Bumi Perdikan Cahyana. Selain itu, dengan penulisan ini semoga dapat memberikan kita pelajaran yang berharga untuk lebih beriman kepada Allah dengan sebenar-benar iman dan mencontoh semangat dari para leluhur kita dalam berislam dan menyebarkan ajaran-ajaran yang dibawa oleh Rasulullah.
Daerah Perdikan Cahyana berada di Kecamatan Karangmoncol dan Rembang, Kabupaten Purbalingga, Karesidenan Banyumas, Jawa Tengah, Indonesia. Di Kecamatan Karangmoncol ada 13 daerah perdikan, diantaranya : Grantung Andhap, Grantung Kidul, Grantung Gerang, Grantung Lemah Abang, Grantung Kauman, Pekiringan Kauman, Pekiringan Lama, Pekiringan Anyar, Pekiringan Bedhahan, Tajug Lor, Tajug Kidul, Rajawana Lor, dan Rajawana Kidul. Sementara itu, 8 desa yang terdapat di Kecamatan Rembang, diantaranya : Makam Wadhas, Makam Bantal, MakamTengah, Makam Dhuwur, Makam Kidul, Makam Jurang, Makam Panjang, dan Makam Kamal.
Salah satu sumber sejarah Perdikan Cahyana adalah piagam-piagam dan beslit-beslit A.M. Kartosoedirdjo dalam naskah Tjarijos Panembahan Lawet yang disusun pada tahun 1941(Behrend, 1990: 77-78) memuat daftar piagam dan beslit yang diterima oleh para pengelola desa Perdikan di Cahyana. Naskah koleksi Museum Sana Budaya dengan kode PB.A. 271 itu sangat berguna untuk melacak keberadaan piagam dan beslit tersebut. Piagam yang diterima adalah 3 piagam, isi piagam yang diberikan oleh Sultan Demak (1403 AJ) dapat dilihat disini, sedangkan piagam dari Sultan Pajang (1503 AJ) dapat dilihat disini, dan isi piagam dari Ki Gede Mataram dapat dilihat disini.
Ketiga Piagam tersebut menunjukan bahwa bumi Cahyana adalah bumi perdikaning Allah, bukan perdikaning ratu. Sultan Demak, Pajang dan Ki Gede Mataram hanyalah meluluskan dan melestarikan perdikaning Allah kepada Mahdum Wali Prakosa. Begitu pula dalam kasus piagam raja-raja Jawa muslim, piagam-pigam tersebut menguatkan eksistensi Perdikan Cahyana dengan gutukullah, gutuking Allah, bebenduning para wali, dan ora olih berkahingsun.
Dengan demikian, status perdikan menjadi tradisi secara terus menerus karena perubahan pusat politik tidak akan mengubahnya, bahkan piagam dari pusat yang lama akan didukung oleh pusat yang baru dan seterusnya.
Pangeran Wali Syekh Atas Angin adalah seorang mubaligh Islam dari negara Arab yang termasuk keturunan Rasulullah SAW dari keturunan Sayidina Ali dengan Siti Fatimah. Nama beliau yang sebenarnya adalah Syarif Abdurahman Al-Qadri. Sesudah sholat Subuh beliau mendapat ilham bahwa di sebelah timur terdapat tiga buah cahaya putih yang menjulang sangat tinggi ke angkasa. Maka beliau beserta 200 orang pengiringnya pergi dari negara Arab, bermaksud akan mencari cahaya tersebut.
Dalam perjalanannya beliau singgah di Gresik dan Pemalang, kemudian terus menuju ke Gunung Cahya hingga beliau menemukan cahaya tersebut. Pangeran Wali Syekh Atas Angin berdiam di Cahyana selama 45 tahun. Perkawinannya dengan Nyai Agung Rubiah bekti berputra lima orang, tiga orang putra dan dua orang putri, yaitu:
1. Pangeran Wali Makhdum Kusen/Husen (Kayupuring), makamnya di desa Rajawana, Kecamatan karangmoncol, Kabupaten Purbalingga, Karesidenan Banyumas, Jawa Tengah, Indonesia.
2. Pangeran Makhdum Medem, makamnya di Cirebon.
3. Pangeran Makhdum Umar, makamnya di pulau Karimun Jawa.
4. Nyai Rubiah raja, makamnya di Ragasela Pekalongan.
5. Nyai Rubiah sekar, makamnya di jambagan, Banjarnegara.
Pangeran Wali Syekh Jambukarang berasal dari Jawa Barat, putra dari Prabu Brawijaya Mahesa Tandreman, Raja Pajajaran I. Ketika masa mudanya beliau bernama Adipati Mendang (R. Mundingwangi). Tradisi Sadjarah Padjajaran Baboning Tjarios saking Adipati Wiradhentaha Boepati Prijangan Manondjaja menyebutkan bahwa Jambukarang merupakan raja Pajajaran yang bergelar Prabu Lingga Karang atau Prabu Jambu Dipa Lingga Karang (bdk. Soetjipto, 1986:14-20).
Sebenarnya beliau menggantikan ayahnya menjadi raja di Pajajaran, tetapi beliau lebih tertarik kepada pendeta (bertapa) dan kerajaan diserahkan kepada adiknya yang bernama R. Mundingsari, yang dinobatkan pada tahun 1990 M. Beliau kemudian bertapa di gunung Jambudipa. Beliau berganti nama menjadi Jambukarang, begitu pula gunung tempat beliau bertapa hingga sekarang terkenal dengan nama Gunung Karang (di Karesidenan Banten, Jawa Barat).
Pada saat beliau bertapa di gunung Jambudipa (Gunung Karang), tampaklah nur/cahaya (cahya bahasa Jawa) tiga buah, di sebelah timur dan putih warnanya menjulang sangat tinggi ke angkasa. Maka dicarilah nur/cahaya itu beserta 160 pengikutnya dan terdapatlah cahaya itu di Gunung Panungkulan (sekarang dikenal dengan nama Gunung Cahya) di desa Grantung, Kecamatan Karangmoncol, Kabupaten Purbalingga, Karesidenan Banyumas, Jawa Tengah.
Dalam perjalanan mencari cahaya itu beliau melalui :
1. Kerawang, terus berlayar ke timur sampai di Jatisari.
2. Sungai Comal, disini agak lama dan sekarang terdapat petilasan Geseng.
3. Gunung Cupu terus mengikuti alirannya sungai Kuripan.
4. Gunung Keraton terus ke selatan menuju gunung Lawet.
5. Bocong sana terus ke selatan sepanjang sungai Ideng, Kedung Budah, Kedung Manggis atau Kesimpar.
6. Penyidangan (sekarang bernama Desa Rajawana).
7. Karangarum (sekarang bernama Desa Makam) terus ke selatan sampailah di Gunung Panungkulan (Gunung Cahya).
Kekeramatan atau kesaktian Pangeran Wali Syekh Jambukarang dengan pertolongan Allah SWT antara lain :
1. Pecinya bisa terbang ke angkasa.
2. Menumpuk-numpuk telur ke udara satu persatu tidak jatuh.
3. Dapat membaca surat yang tidak bertulisan.
4. Gunung-gunung tunduk ke Gunung Keraton (Lawet) ketika diberi ilmu kewalian.
5. Menggandeng tempat-tempat air ke udara (ke angkasa) tidak tumpak airnya.
Adanya telur dan air yang dapat ditumpuk ke udara dan bergantungan di atas ketika beradu kesaktian dengan Pangeran Wali Syekh Atas Angin maka tempat sebagai adu kesaktian tersebut di kenal dengan nama Grantung. Desa Grantung terletak di Kecamatan Karangmoncol, Kabupaten Purbalingga, Karesidenan Banyumas, Jawa Tengah, Indonesia.
Setelah wafatnya Pangeran Wali Syekh Jambukarang, perjuangannya diteruskan oleh keturunannya, yaitu cucunya yang bernama Pangeran Wali makhdum Husen. Ketika Pangeran Wali Syekh Atas Angin sampai di tempat munculnya cahaya tersebut dan ternyata disitu telah ada seorang yang berada di dekat cahaya dan sedang bertapa, tak lain orang tersebut adalah Jambukarang.
Kemudian beliau mengucapkan salam kepada secara islami yaitu Assalamu’alaikum kepada orang tersebut, berulang beliau mengucapkan salam akan tetapi tak ada sepatah kata jawaban karena pada saat itu Jambukarang masih memeluk agama Hindu. Dianatara keduanya pun akhirnya mengadu kesaktian sehingga kemenangan berada pada Pangeran Wali Syekh Atas Angin.
Dengan perjanjian semula bahwa siapapun yang kalah maka akan beralih ke agama kepada agama sang pemenang. Jambukarang kemudian bersyahadat untuk masuk agama Islam sehingga beliau bergelar “Pangeran Wali Syekh Jambukarang”. Sebelum masuk Islam beliau terlebih dulu harus memenuhi segala syarat rukunnya, antara lain mandi taubat, memotong rambut, dan syarat rukun islam lainnya. Petilasan sebagai tempat pertaubatannya pun sekarang masih ada.
Ketika Pangeran Wali Syekh Jambukarang akan diberi ilmu Kewalian oleh Pangeran Wali Syekh Atas Angin, maka beliau meminta supaya mengambil tempat di Gunung Keraton saja, hingga saat ini masih ada petilasannya dan dikenal dengan Gunung Lawet hingga sekarang.
Pada saat Ilmu Kewalian itu diajarkan (dalam bahasa Jawa disebut diwejang), semua gunung yang berada di sekitar Gunung Keraton puncaknya tunduk mengarah kepada Gunung Keraton, hingga saat ini masih dapat dilihat bekas-bekasnya. Akan tetapi ada satu gunung yang tak tunduk puncaknya, maka terkenalah gunung tersebut dengan nama Gunung Bengkeng (membandel).
Sebagai tanda terima kasih Pangeran Wali Syekh Jambukarang kepada Pangeran Wali Syekh Atas Angin, maka putrinya yang bernama Nyai Rubiahbekti dikawinkan dengan beliau. Untuk menyempurnakan keislamannya, Pangeran Wali Syekh Jambukarang menunaiakn ibadah Haji ke Tanah Suci (Mekah).
Sekembalinya dari Tanah Suci, beliau dikenal sebagai Mubaligh Agung dan diberi gelar Haji Purwa/Purba. Nama Gunung Lawet berasal dari kata khalwat, jadi merupakan tempat untuk berkhalwat / tabarrur yaitu mendekatkan diri kepada Allah, seperti Rasulullah SAW berkhalwat di Gua Hira’ untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT.
Dengan kodrat dan iradat Allah SWT maka timbullah nur / cahaya (dlam bahasa jawa disebut cahya) di Gunung Panungkulan, sebanyak tiga buah, menjulang tinggi ke angkasa dan putih warnanya. Gunung Panungkulan terletak di desa Grantung, Kecamatan Karangmoncol, Kabupaten Purbalingga, Karesidenan Banyumas, Jawa Tengah, Indonesia. Menurut riwayat yang dapat melihat dan menemukan nur/cahya yang timbul di Gunung Panungkulan hanyalah Pangeran Wali Syekh Atas Angin dan Pangeran Wali Syekh Jambukarang.
Beberapa nama dari tiga buah nur / cahaya yang timbul di Gunung Panungkulan serta arti yang terkandung di dalamnya:
1. Dinamakan Cahyana, sebab cahaya tersebut dapat membuat terang di dunia ini.
2. Dinamakan Wonosepi, sebab timbulnya cahaya tersebut ghaib, dahulunya tidak ada sama sekali dan kemudian timbul dengan sendirinya.
3. Dinamakan Wonokerso, sebab memang tujuan nur/cahaya tersebut ghaib.
4. Dinamakan Wonokesimpar, sebab ghaib, sering dibicarakan dan disinggung, tetapi jarang yang mengetahui hal sebenarnya.
5. Dinamakan Pengadanagan, sebab benar-benar cahaya tersebut diharap-harapkan oleh ummat manusia di dunia ini.
6. Dinamakan Cahyana, sebab mempunyai kekuatan atau kekuasaan untuk membuat terang awal ummat manusia sejagat.
7. Dinamakan Tanggeran, sebab menjadi pertanda bagi orang sejagat.
8. Dinamakan Kojur, sebab membuat hancur/sial/celaka kepada kehendak jahat manusia sejagat.
9. Dinamakan juga Kecepit.
10.Dinamakan Rajawana.
Sepuluh nama dari tiga cahaya tersebut merupakan sifat cahaya tersebut. Kalau kita ingat bahwa timbulnya cahaya itu, sebelum Agama Islam masuk ke Cahyana, yaitu sebelum datangnya Pangeran Wali Syekh Atas Angin untuk membawa Agama Islam. Maka benar-benarlah bahwa nur/cahaya itu merupakan pertanda akan datangnya petunjuk Allah (Agama Islam) di daerah Cahyana khususnya dan di daerah lain pada umumnya.
Pangeran Wali Makhdum Husen mengantikan ayah dan kakeknya memimpin Cahyana. Sudah sejak masa Pangeran Wali Syekh Jambukarang, Pajajaran tidak senang kepada daerah Cahyana, Karena berlainan pandangan, yaitu Pajajaran menganut Agama Hindu, sedangkan Cahyana menganut Agama Islam.
Maka pada masa Pangeran Wali Makhdum Husen diseranglah Cahyan oleh Pajajaran dengan jumlah yang besar dan dipimpin oleh seorang Patih menyerbu Cahyana, akan tetapi berkat pertolongan Allah SWT dan keberanian Pangeran Wali Makhsum Husen, serta keuletan para santri pengikutnya, tentara Pajajaran dapat dikalahkan dan kembali ke Pajajaran dengan tangan hampa.
Pada saat menghadapi serangan tentara Pajajaran, tampaklah kekeramatan Pangeran Wali makhdum Husen, yaitu pada malam hari beliau memohon kepada Allah SWT dengan menjalankan sholat hajat, maka berdatanglah lebah berbondong-bondong banyak sekali dan menyerang balatentara Pajajaran, sehingga balatentara Pajajaran lari tunggang langgang sampai jauh dari daerah tapal batas Cahyana. Akan tetapi berhenti di sebelah barat sungai.
Dengan serta merta datanglah makhluk halus yang besar dan akan menghancurkan balatentara Pajajaran, maka larilah semua sisa tentara dar sebelah barat sungai tersebut. Sebagai peringatan maka sungai tersebut diberi nama sungai Mulih (dalam bahasa jawa) yang artinya pulang, karena dari sungai inilah tentara Pajajaran pulang.
Dan hingga saat ini sungai tersebut masih ada yang terletak di Tunjungmuli, Kecamatan Karangmoncol, Kabupaten Purbalingga, Karesidenan Banyumas, Jawa Tengah.
Tak ketinggalan pula para santri dan pengikutnya dipimpin supaya berdo’a memohon pertolongan Allah SWT. Dan do’a tersebut hingga saat ini terkenal dengan nama Braen. Braen ini diadakan tiap-tiap hari Besar Islam hamper di semua daerah Cahyana dan sering juga digunakan untuk sesuatu hajat yang lain.
Kesenian Braen ini dilakukan oleh orang-orang wanita, dengan bunyi-bunyian terbang. Pemimpin Braennya namanya Rubiyah. Jumlah bait do’anya lebih kurang 50 bait.
Isi Braen bermacam-macam, antara lain doa, sejarah, pendidikan, ketauhidan dan lain-lain. Adapun salah satu contoh bait Braen berisi doa :
Tulung matulung, tulung Tuan
Para Wali lilirna nyawa nira
Lilirna ing jagate kelawan sir Allah
Para Wali bukakna lawang ing sepangat Nabi
Lawan sepangat Allah
Artinya :
Mohon pertolongan kepada Allah SWT
Para Wali supaya membangkitkan semangat
Membangkitkan dunia dengan perintah Allah
Para Wali supaya membuka pinti pertolongan
Yaitu safa’at Allah dan Rasul-Nya
Makam Pangeran makhdum Husen terletak di desa Rajawana, Kecamatan Karangmoncol, Kabupaten Purbalingga, Karesidenan Banyumas, Jawa Tengah, Indonesia.
Pangeran Makhdum Wali Prakosa adalah putra dari Pangeran Makhdum Jamil bin Pangeran Wali Makhdum Husen. Beliau semasa dengan jaman Wali Sanga, dan Kerajaan Islam Demak. Hubungan Cahyana dengan Demak sangat bagus dan erat, sebab kedua belah pihak menganut Agama Islam.
Apalagi beliau turut serta dalam pembuatan Masjid Demak, bahkan mendapat bagian membuat soko guru masjid bersama Sunan Kalijaga, yang soko tersebut kemudian terkenal dengan nama Soko Tatal. Begitu pula ketika arah masjid masih belum tepat mengarah kiblat, Beliau turut serta membenarkannya. Do’a Beliau dapat diterima Allah SWT sehingga beliau dapat meluruskan arah masjid dengan palu besar menjadi tepat arah kiblatnya. Karena kekuatan dan keperkasaannya maka beliau terkenalah dengan nama Wali Prakosa (kuat sekali).
Hubungan Cahyana dengan Demak bertambah erat lebih-lebih setelah Demak dengan tegas mengakui kemerdekaan Cahyana. Cahyana dapat bantuan seorang guru/mubaligh, bahkan guru tersebut meninggal di Cahyana.
Adapun mengenai pengakuan Demak terhadap Cahyana dapat dilihat pada piagam yang tertulis di bawah ini:
Turunan Piagam Atau Surat Pengakuan dari Kerajaan Demak
“Penget laying kang idi Pangeran Sultan ing Demak, kagaduha dening paman Makhdum Wali Prakosa ing Cahyana. Mulane anggaduh laying ingsun dene angrowangi melar tanah Jawa, sun tulusaken pemerdikane pasti lemah pemerdikaning Allah, tan taha ana angowahana ora sun wehi suka khalal dunya akhirat, anaa anak putu hamba anganiaya muga kena ing gutuking Allah lan oleh bebenduning para wali kang ana ing nusa Jawa. Esti yen peperdikaning Allah.
Artinya :
Bahwa kami sebagai Sultan Demak, memberikan tanda piagam ini. Kepada Paman Makhdum Wali Prakosa di Cahyana. Mengingat bahwa yang bersangkutan telah membantu menyebarkan Agama Islam di tanah Jawa, kami tetapkan langsung kemerdekaannya. Pasti tanah ini benar-benar merdeka karena Allah. Barang siapa berani merubah, kami tidak khalalkan dunia dan akhirat. Bila ada anak cucu kami yang berani merusak, moga-moga mendapat kutuk Allah dan semua Wali yang ada di pulau Jawa. Bahwa benar-benar tanah merdeka karena Allah.
Makam Pangeran Makhdum Wali Prakosa terletak di desa Pekiringan, Kecamatan Karangmoncol, kabupaten Purbalingga, Karesidenan Banyumas, Jawa Tengah, Indonesia.
Pangeran Wali Makhdum Cahyana adalah putra dari Agiyana di Ampeldenta dan menantu Pangeran Makhdum Wali Prakosa, suami dari Pangeran Estri. Pada saat Pangeran Makhdum Cahyana bersama saudara perempuannya akan menuaniakan ibadah Haji, berangkat dari Ampel singgah di Cirebon. Kemudian menetap beberapa waktu pada Sultan Cirebon.
Selanjutnya saudara perempuannya diambil sebagai istri Sultan Cirebon. Karena sesuatu hal yang tidak baik, maka Pangeran Wali Makhdum Cahyana bersama saudara perempuannya, pada waktu malam hari lolos dari Kasultanan Cirebon secara rahasia.
Dari Cirebon dengan mengambil jalan melalui hutan belantara, sehingga badannya banyak yang menderita luka, dan akhirnya sampailah di Cahyana. Kemudian beliau berguru menjadi santri dari Pangeran Makhdum Wali Prakosa. Karena banyak luka-luka pada badannya, maka terkenalah dengan nama Santri Gudig.
Lama beliau menjadi santri dari Pangeran Makhdum Wali Prakosa. Di dalam pesantren beliau sangat patuh kepada gurunya dan pandai, cakap susila serta mempunyai beberapa keistimewaan yang jarang ada bandingannya.
Oleh Karena itu Pangeran Makhdum Wali Prakosa sangat kasih sayang kepada beliau dan akhirnya diambil sebagai menantunya.
Kesaktian Pangeran Wali Makhdum Cahyana antara lain:
1. Kain yang sedang dipakainya waktu tidur malam hari bercahaya seperti ada apinya.
2. Mempunyai keahlian mengambil ikan air yang sangat luar biasa.
3. Mempunyai keahlian bertani yang istimewa sehingga hasil pertaniannya luar biasa baiknya.
4. Mempunyai ilmu rahasia untuk menghilang, sehingga musuh tidak sempat dan tak dapat mencarinya.
5. Dapat memerintah batu-batu supaya berjalan sendiri ketika beliau membuat lantai rumah, sehingga seperti binatang ternak yang digiring, dan beliau mengambil ranting pohon waru sebagai cambuknya.
Barang-barang peninggalan Pangeran Wali Makhdum Cahyana anatara lain :
1. Lumbung padi, sebenarnya lumbung ini sebagai tempat pengumpulan padi zakat yang digunakan untuk kesejahteraan lahir batin sesuai dengan ajaran Islam.
2. Langgar untuk sholat dan pengajian.
3. Sorban hijau muda (seperti sorban haji).
4. Sorban hitam tua.
5. Kain lurik kepyur.
6. Kain batik barong.
7. Kitab-kitab.
8. Ceret tembaga.
9. Kendil/periuk tembaga.
10.Terbang.
11. Golok/pedang.
Setelah wafat beliau dimakamkan di desa Grantung, Kecamatan Karangmoncol, Kabupaten Purbalingga, Karesidenan Banyumas, Jawa Tengah, Indonesia. Keduanya adalah putra dari Pangeran Makhdum Tores. Makhdum Tores merupakan saudara kandung dari Pangeran Makhdum Wali Prakosa, beliau dimakamkan di Bogares (Tegal).
Setelah Pangeran Makhdum Cahyana wafat, maka Kiai Pekeh/Fakih dan mas Barep yang menggantikan pimpinan daerah Cahyana. Mulai Kiai Pekeh/Fakih dan mas Barep inilah timbulnya pembagian pimpinan keluarga Cahyana menjadi dua pimpinan kepala keluarga, dari keluarga keturunan Pangeran Wali Syekh Jambukarang. Seterusnya berkembang biak, hingga sampai waktu sekarang ini telah menjadi 21 kepala keluarga.
Dari kepala keluarga ini berkembang menjadi ribuan jumlahnya, baik di daerah Cahyana sendiri maupun di luar daerah Cahyana.
Kesaktian Kiai Pekeh/ Fakih dan mas Barep:
1. Kiai Pekeh/ Fakih dengan pertolongan Allahdapat sholat di atas pelepah pohon pisang yang masih berdiri.
2. Mas Barep dengan pertolongan Allah dapat mendatangkan angin rebut, sehingga pohon-pohon jati di hutan jati daerah Tegal banyak yang roboh.
2. Ziarah Makam Syeh Jambu Karang di Rembang
Petilasan atau Makam Syeh Jambu Karang atau Jambukarang lebih dikenal masyarakat jawa sebagai Ardi Lawet atau Ardilawet. Terletak di puncak gunung Lawet yang masuk kedalam Wilayah Pemerintah Desa Panusupan Kecamatan Rembang Kabupaten Purbalingga Propinsi Jawa Tengah, dengan ketinggian kurang lebih 3000 dpl. Disebutkan oleh berbagai kitab merupakan wilayah Perdikan Cahyana.
Menurut kitab Babad Tanah Jawa, Syeh Jambu Karang merupakan salah satu tokoh yang turut menyebarkan ajaran Agama Islam di Pulau Jawa. Bahkan jauh sebelum Wali Songo melakukan Syiar Agama Islam. Sebagai salah satu Tokoh Islam di pulau jawa, maka banyak cerita yang bervariasi di dalam masyarakat sekitar, dari silsilah sampai dengan berbagai kesaktian yang dimiliki, bahkan hingga betapa mustajabnya doa yang dipanjatkan disana.
Perdikan Cahyana atau bumi cahyana menurut Tijdschrift voor het Binnenland Bestuur (deel I) tulisan C.J Hasselman (1887) adalah bumi perdikaning Allah, bukan perdikaning ratu, sesuai dengan 3 Piagam yang disebutkan disana, yaitu: Piagam Sultan (1403 AJ), Sultan Pajang (1503 AJ), dan Ki Gede Mataram. Ketiga piagam tersebut meluluskan dan melestarikan perdikaning Allah tersebut kepada Mahdum Wali Prakosa (Ind: Perkasa). Dalam tradisi Cahyana, Pangeran Mahdum Wali Prakosa berjasa dalam membangun Masjid Agung Demak.
Silsilah atau asal usul menurut manuskrip Cariyosing Redi Munggul, Pangeran Jambu Karang berasal dari Pajajaran, putra Prabu Brawijaya Mahesa Tandreman. Pangeran Jambu Karang ditonjolkan sebagai Raja Sunda yang masih kafir. Kemudian diislamkan oleh Pangeran Atas Angin setelah melalui perang kesaktian yang dimenangkan oleh Pangeran Atas Angin. Kemudian Pangeran Atas Angin menikah dengan putri Pangeran Jambu Karang yang bernama Rubiyah Bekti. Perkawinan mereka melahirkan lima orang anak, yaitu (1) Pangeran Mahdum Kusen (Kayu Puring) yang dimakamkan di Rajawana, (2) Mahdum Madem (makamnya di Cirebon), (3) Pangeram Mahdum Omar (makamnya di Pulau Karimun, Jepara), (4) Nyai Rubiyah Raja (makamnya di Ragasela, Pekalongan), dan nyai Rubiah Sekar (makamnya di Jambangan Banjarnegara).
Hubungannya wali Prakosa dengan Syeh Jambu Karang. Pangeran Mahdum Kusen berputra Pangeran Mahdum Jamil. Pangeran Mahdum Jamil mempunyai dua orang anak, yaitu (1) Pangeran Mahdum Tores (makmnya di Bogares, tegal) dan (2) Pangeran Wali Prakosa (makamnya di desa Pekiringan, karangmoncol, purbalingga). Pangeran wali Prakosa inilah yang disebut dalam Piagam Sultan demak yang berasal dari tahun Jawa 1503 sehingga ia merupakan tokoh sejarah, sedangkan Pangeran Jambu Karang, Pangeran Atas Angin, Pangeran Mahdum Kusen, dan Pangeran Mahdum Jamil adalah tokoh-tokoh legendaris dari Perdikan Cahyana.
Insya Allah, bersambung.. di Rembang Info]
Referensi Pustaka :
Achmad, 1991. Purbalingga ing Atiku. Purbalingga: Seksi Kebudayaan, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kabupaten Purbalingga.
Atja, 1970. Carita Ratu Pakuan. Bandung: Lembaga Bahasa dan Sedjarah Perpustakaan Sundanologi.
Atmo, Tri. 1984. Babad dan Sejarah Purbalingga. Purbalingga: Pemda Dati II Purbalingga.
Atmo, Tri dan Sasono. 1993. Mengenal Purbalingga Daerah Tempat Lahir Jenderal Sudirman. Jakarta: Paguyuban Arsakusuma.
Behrend, T.E. 1990. Katalog Induk Naskah-naskah Nusantara Jilid 1 Museum Sana Budaya Yogyakarta. Jakarta: Djambatan & Ford Foundation.
Behrend, T.E. dan Titik Pudjiastuti. 1997. Katalog Induk Naskah-naskah Nusantara Jilid 3A Fakultas Sastra Universitas Indonesia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia-Ecole Francaise D’Extreme Orient.
Boechari, M. 1977. “Candid an Lingkungannya”. Majalah Ilmu-ilmu Sastra Indonesia, Jilid VII, edisi Juli, No.2.
Darmoredjo, S. 1986. Riwayat Hidup Singkat Bapak Supono Priyosupono. Karangmoncol: tp.
Ekadjati, Edi S., 1982. Ceritera Dipati Ukur, Karya Sastra Sejarah Sunda. Jakarta: Pustaka Jaya.
Hasselman, C. J. 1887. “De Perdikan Dessa’s in Het District Tjahijana (Afdeeling Poerbolinggo, Residentie Banjoemas).” Tijdschrift voor het Binnenland Bestuur, deel I: 72-104.
Kartosoedirdjo, A.M. 1941. Tjarijos Panembahan Lawet. Jogjakarta: Museum Sana Budaya.
-------------. 1967. Diktat Riwayat Purbalingga. Selanegara: stensil.
Knebel, J. 1998. ‘Darmokoesoemo of She Djambukarang, Desa Legenda uit het Javaansch Medegedeeld.” Tijdschrift voor Indische Taa-l, Land-, en Volkenkunde van het bataviaasch Genootschap van Kunstent en Wetenschappen, deel XXXIX, 1:118-127.
Mugiono. 1999. Mengenal Perjuangan Pangeran MahdumWali Perkasa di Tanah Perdikan Cahyana Pekiringan. Jakarta: tanpa penerbit.
Oemarmadi dan Koesnadi Poerbosewojo. 1964. Babad Banjuma. Djakarta: Amin Sujitno Djojosudarmo.
Padmapuspita. Ki J. 1966. Pararaton Teks bahasa Kawi Terdjemahan Bahasa Indonesia. Jogjakarta: Taman Siswa.
Slametmuljana, 1979. Nagarakretagama dan tafsir sejarahnya. Jakarta: bhratara.
------------. 1983. Pemugaran Persada Sejarah Leluhur Majapahit. Jakarta: Inti Idayu Press.
Soekmono. 1977. Candi Fungsi dan Pengertiannya. Semarang: IKIP Semarang Press.
Soetjipto, Akhmad. 1986. Sejarah Singkat Pangeran Wali Syekh Jambukarang atau haji Purwa dan Wali Sanga. Yogyakarta: tanpa penerbit.
Steenbrink, Kareal A. 1984. Beberapa Aspek tentang Islam di Indonesia Abad ke-19. Jakarta: Bulan Bintang.
Supanggih. 1997. Karangmoncol dan Perkembangannya. Jakarta: tanpa penerbit.
Sutaarga, Moh. Amir. 1984. Prabu Sillwangi. Jakarta: Pustaka Jaya.
Diposkan oleh TRAH KRT. HASAN MIDARYO di 00:33
sumber : http://trahpanembahanwongsopati.blogspot.com
Langganan:
Postingan (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar